Tulisan Bebas Vol. II


“Mampus Kau Dikoyak koyak Sepi.”
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin. Sebuah penggalan puisi dari Chairil Anwar yang cukup tajam dan sangat berimplementasi saat ini kepada saya. Sepi sekali menikmati hari “kemenangan” sendiri tanpa orangtua dan saudara serta kerabat yang dikasihi. Sebuah coretan ringan tentang pengalaman pertama lebaran di negeri orang (rantau) tanpa keluarga yang biasanya mengisi detik-detik kemenangan tersebut.

Mampus Kau Dikoyak moyak Sepi. Penggalan yang berimplementasi mengisahkan malam takbiran dengan kesendirian dan kesepian. Sayangnya saya tidak mampus. Hanya sampai pada tahap sepi. Lebaran yang biasa semarak layaknya sebuah perayaan dengan kehangatan keluarga saat ini harus ditunda dulu. Sepi sepertinya menjadi tahapan dalam proses kedewasaan. Namun apakah kedewasaan harus mampu menembus sepi? Sayangnya saya tidak sependapat dengan pikiran saya sendiri. Sepi adalah alamiah. Bukan hanya dewasa yang harus mampu melewatinya. Tahapan sepi menurut saya sangat random.


“Malam Lebaran. Bulan diatas Kuburan.”
Kesenangan yang terbungkus duka. Duka apa saja. Tentang masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Lantas kenapa ada duka dimasa depan? Bukankah masa depan menjadi mistero yang tidak akan diketahui? Benar. Sayangnya duka masa lalu yang masih dibahas dan dipelihara menjadi selayaknya racun yang menggerogoti organ secara bertahap. Kesembuhan duka secara utuh dapat dilakukan. Dan benar saja, penyakit yang berkaitan dengan hal tersebut bisa disembuhkan dengan obat yang sangat mahal. Ikhlas.

Perihal ikhlas bukan pekara yang mudah untuk dilakukan. Maha sakti orang dengan tingkat keikhlasan yang tinggi dapat melakukan dengan sekali ucap. Bukan lisan yang melakukan. Hati. Sanggupkah hati ikhlas setelah lisan melontarkan pernyataan secara lugas? Tahapan ini pun sangat random.

Lantas apa hubungan antar sepi dan duka tadi? Setiap pekara di dunia saya meyakini adanya benang merah antara satu sama lain. Berbekal kesepian seseorang bisa menguak kembali duka yang telah disegel ikhlas. Lantas kenapa “mampus” dalam penggalan puisi Chairil Anwar menjadi akibat sepi? Tentunya Chairil Anwar mempunyai pandangan tentang tajamnya sepi. Lalu kenapa ada Bulan diatas Kuburan ketika Malam Lebaran? Dan saya bisa menjawab duka sebagai kambing hitam atas kesedihan diatas kesenangan tersebut. Setidaknya korelasi antara sepi dan duka bisa saya alami secara personal. Terimakasih pikiran.

Sebaiknya coretan ini segera saya akhiri sebelum menjadi semakin gelap. Selamat belajar ikhlas.

Komentar

Postingan Populer