Doa yang Tak Dikabulkan Hujan: Manifestasi Rasa Berselubung Kata

Andai ada kata yang melambangkan kehampaan selain senja dan duka, adalah cerita singkat tentang hujan dari seorang Dewi Syafrina. Saya tidak akan membahas mengenai apa dan bagaimana telaah puisi, pembedahan kosa kata, maksud dan makna. Terlalu sempit untuk digambarkan dengan kata-kata. Sayangnya saya lebih suka merasakan sebuah puisi dengan rasa dan getar yang saya terima setelah membacanya.

Oleh: Dewi Syafrina (@syafrinaewii)
rintik hari ini lebih lirih dari biasa
pintu merapat
dan aku menghangat dalam ruang sempit
membayangkan selimut yang berunggun
aku tetap kedinginan

adakah yang lebih manis
dari sopannya tanganmu
ketika ia menjadi payung
dan membuatku teduh
kurasa hujan tengah berbahagia
ia merasa berguna

namun tak ada yang lebih anggun
dari santunnya bibirmu
ia menjadi pengucap doa
lalu hujan perlahan reda
oleh sebab ada gigil dalam tubuhku
yang belum bisa kau hangatkan

kau mengajarkan
hujan adalah ritual untuk berdoa
aku diam-diam merapalkan ingin yang dalam
tentangmu
tentang mata, tangan, dan bibir yang santun
namun hujan tak selamanya
mengabulkan doaku
ia menjadi lirih
ketika tak ada lengan yang meneduhiku
lagi
Lantas bagaimana tentang doa yang tidak dikabulkan hujan? Sekiranya ada sebuah akhir kalimat yanng digunakan menjadi penutup dan klimaks. Mendapati "..Ketika tak ada lengan yang meneduhiku lagi...".Menurut saya, ada beberapa titik yang menjadi konsentrasi pembaca dan dijadikan power atau kekuatan dari sebuah puisi. Titik ini bersifat subjektif dan memiliki masing-masing prespektif. Sudut mana yang akan dijadikan titik temu, antara rasa yang dirangsang oleh getaran kata. 
Lantas dimana titik temu antara rasa dan kata mu?

kunjungi juga blog Dewi Safrina di syafrinaewii.tumblr.com. Selamat berfantasi.

Komentar

Postingan Populer