Matahari Pagi dan Awan Rapuh Akan Angin

Tidak ada yang berbeda dengan pagi ini. Hanya saja matahari lebih mendominasi dibanding awan bening yang rapuh terhadap angin. Segerombol orang dengan bentuk dan rupa berbeda melintasi lalu lalang yang teramat ramai. Entah untuk tujuan apa pagi membuat semua keluar merayap jauh melintasi jalanan sempit.

Di sudut jalan seorang Ibu renta mengeliat sempoyongan. Sembari menengadahkan tangan ke atas menampung sisa kemanusian dalam era sosialitas level atas. Sepasang mata renta tak henti menampilkan harap pada manusia modern yang terus melintas tanpa geming dan dan berlalu. Layaknya sebuah program, cukup lalu dan berlalu.

Sekilas pojokan jalan lainnya seorang Bapak paruh baya terlihat lincah menari di jalanan raya. Berproperti koran dan topi anti ultraviolet sang Bapak menyusuri jalan sepintas demi sepintas. Merayap menampilkan bacaan dengan beragam tag line sembari mengarah ke kaca mobil gelap. Cukup dengan sandi lima jari dan sedikit gelengan angkuh sang Bapak paruh baya meninggalkan harapan akan satu keping ratusan.

Sepintas segerombol orang menyerbu ruangan sempit di dalam garbong kereta. Tak ada lagi yang tua dan muda. Semua sama. Yang menjadi pembeda hanya kekuatan fisik untuk terus mendorong dan menekan. Siapa yang mengenal renta, tua, dan lemah disini? Tidak ada.

Memang tidak ada yang bebeda dengan matahari pagi dan awan yang rapuh terhadap angin. Hanya saja jumlah manusia yang semakin berkurang. Semakin terprogram dengan berbagai tujuan. Ke-manusia-an telah jauh meninggalkan peradaban matahari pagi dan awan yang rapuh terhadap angin. Berganti dengan pijar kemilau modernisasi yang beda kaprah.

Kelak matahari pagi dan awan yang rapuh akan angin akan merindukan ke-manusia-an tersebut. Layaknya pengharapan, selalu terucap diantara mereka sebuah kalimat asa,”Semoga ke-manusia-an kembali berkembang biak ditangah program kemaslahatan hidup.”


Sekilas tak ada yang berbeda dengan matahari pagi dan awan bening yang rapuh akan angin. 

Komentar

Postingan Populer