AKU BUKAN DEWASA
AKU BUKAN DEWASA
Oleh : Mhd Harry Sugama
Dewasa
adalah sebuah keadaan dimana kita harus memenuhi batasan yang tidak boleh
dilanggar sebagai seorang dewasa. Sebuah pendapat yang kian mengekang pemikiran
ku akan dewasa menurut ku sendiri. “Kamu sudah dewasa! Jangan lagi bertingkah
aneh! Patuhi saja apa yang telah ada sedemikian adanya”, bentak beberapa orang
yang kukumpulkan menjadi sebuah pendapat dari orang-orang yang disebut dewasa.
Ah, semakin lama pemikiran mengenai dewasa semakin mempersempit kepala ku.
Suasana
malam yang dingin sepi menyapa hangat perjalananku menuju rumah. Sebuah rumah
yang kutempati sendiri sebagai orang dewasa yang harus mampu menunjuang
kehidupan mereka sendiri tanpa harus bergantung lagi kepada orang tua. Ya, itu
adalah sebuah harapan yang sangat ku inginkan semenjak kanak-kanak. Bisa
mandiri dan cepat menjadi dewasa. Sebuah rumah kecil terdiri dari satu kamar
tidur dan sebuah ruang tamu dan ruang keluaga beserta kamar mandi dan sedikit
halaman kecil. Jauh sebelum memulai kehidupan dewasa orang tua ku selalu
memberikan nasehat, “Menjadi dewasa itu pilihan nak. Kamu belum tentu menemui
sikap dewasa walaupun mencapai umur yang berlebih dari ketetapan dewasa.Namun
menjadi tua itu mutlak! Segala sesuatunya akan kamu temui kelak”.
Kehidupan ku saat ini bisa dibilang membingungkan.
Bahkan aku sendiri yang menjalaninya sedikit bingung dengan kenyataan yang
kudapati sebagai seorang dewasa. Terjebak dalam rutinitas yang monoton.Tidak
ada ruang bebas untuk aku berfikir sebagai diriku sendiri. Yang ada hanya aku
dan dewasa ku. Bukan dewasa ku. Tapi dewasa yang didoktrin kepada ku.
Sepasang
remaja yang berjalan dalam gemerlap cahaya kota dengan riangnya melewati ku. Tepat
beberapa langkah didepanku. Remaja yang bisa dibilang berusia belasan tahun.
“Ahh.., remaja zaman sekarang. Tertawa riang,
huru-hara. Mau jadi apa mereka nanti”, batin ku.
“Mungkin
karena masih labil dan belum dewasa”, ungkap ku lagi.
Sesaat
kau mulai tertarik dengan sepasang remaja yang berjalan tepat didepanku. Beberapa
saat remaja tersebut mulai mempercepat tempo jalan mereka. Namun sebuah kalimat
janggal yang sempat ku dengar sebelum mereka
berjalan lebih cepat lagi membuat ku bergidik. Kaget bercampur tidak
percaya.
“Dimana?”,
ungkap sang remaja lelaki kepada wanita disampingnya.
“Udah
dekat. Di wisma tepat bengkolan depan”, balas remaja wanita dengan santai.
Hei,
pembicaraan macam apa ini! Otak ku berfikir keras mencerna pembicaraan mereka.
Sepasang remaja yang berjalan di tengah kota pada jam yang tidak normal bagi
remaja seusia mereka.
“Sepasang
remaja yang berjalan dengan tujuan sebuah wisma. Apa tujuan mereka? Ya!
Mereka remaja yang salah pergaulan!”,
pikir ku. Tidak sampai disana. Karena rasa penasaran akhirnya aku membuntuti
mereka. “Pikiran mereka singkat sekali. Mungkin karena belum dewasa. Ya! Mereka
belum dewasa. Jadinya mereka melanggar nilai norma yang ada. Beruntung aku
sudah dewasa. Kalau saja aku belum dewasa. Mungkin aku bertingkah seperti
mereka, mungkin”, pikir ku lagi. “Tapi siapa yang harus disalahkan? Mereka kan
belum dewasa. Orangtua mereka! Orang tua macam apa yang membiarkan anak
gadisnya berkeliaran pada jam segini? Orangtua bodoh! Bahkan orangtua mereka
tidak dewasa sama sekali!”, ungkap ku membatin.
Tepat
didepan wisma sang wanita berjalan masuk sendirian kedalam dan teman
laki-lakinya menunggu di luar. “Apalagi ini? Mungkin ini semacam taktik agar
mereka tidak ketahuan. Mungkin.”, pikir ku. Sejenak aku terhenti untuk kembali
memenuhi rasa penasaranku. Dari kejauhan mengamati tingkah remaja yang cukup
mengganggu pikiran ku. “Coba saja mereka bisa berpikir lebih dewasa, mungkin
tidak akan sampai berpikir untuk melakukan hal bodoh ini”, batin ku.
Tak
lama kemudian seorang perempuan tua keluar bersama sang wanita yang tadi
berjalan menyusuri ampu kota bersama lelaki yang menunggunya tepat diluar
wisma. “Wah, ini semakin tidak beres”, ungkap ku. Berbekal rasa penasaran yang
amat mendesak pikiran ku akhirnya ku putuskan untuk berdiri lebih dekat lagi.
Untuk mendengar percakapan mereka. “Sudah ku duga, ini semacam praktek
prostitusi. Bagaimana mungkin remaja sekarang mampu melakukan hal ini?”, batin
ku lagi.
Sedikit
demi sedikit ku beranikan diri untuk lebih dekat dengan mereka. Sosok perempuan
paruh baya yang tersenyum kepada lelaki yang berdiri didepan wisma makin jelas
terlihat. Ku nyalakan selinting batang rokok ku untuk membuat keadaan mengalir
sebagaimana adanya, Supaya mereka tidak mencurigai kehadiran ku.
Perempuan
paruh baya tersebut tersenyum sambil berkata-kata. “Terimakasih ya ...” ujarnya
ringan.
“Sama-sama
buk. Tidak baik untuk seorang perempuan berjalan sedirian malam untuk pulang ke
rumah”, jawap pemuda itu sopan.
Sebuah
percakapan yang sangat berbeda dengan visualisasi pikiran ku. lama terhening
dalam lamunanku kembali ku lanjutkan jalan sembari mempercepat tempo untuk
meninggalkan tempat itu.
Dalam
perjalanan kembali ku berfikir mengenai kejadian tadi. “Hei!! Ada apa dengan
ku? Ada apa dengan pikiran dewasa ini? Kenapa hanya prasangkka buruk yang
sempat kupikirkan tadi?”, batin ku sembari menghisap sisa rokok yang tadi
kunyalakan. Mungkin pikiran ini sudah mulai berkurang intensitasnya. Besok
harus ku perbarui lagi pikiran dewasa ini. Suasana malam ini cukup dingin.
Angin semilir membuat ku kembali berfikir. “Ahh.., aku malas berfikir!”, batin
ku.
***
Pagi
ini gelap. Mendung dan tidak lagi menampakkan sinar matahari. Hari ini mulai ku
tata ulang lagi pikiranku mengenai dewasa pada diriku. Ya, sebagai seorang
dewasa menurut ku. Beragam spekulasi mengenai pemikiran dangkal seorang dewasa
hasil doktrin lingkunganku harus kutinggalkan. Ah, tidak sempat lagi untuk
berfikir. Ini saatnya keluar bekerja. Mendung yang mengantarkan ku menyusuri
lorong kota untuk menuju sebuh tempat. Sebuah gedung tua tempat ku bekerja
sebagai seorang karyawan rendahan yang harus mematuhi berbagai putusan mereka
diatas yang sering mereka sebut kebijakan.
Tepat
di halaman kantor seorang anak kecil berbaju rapi membuyarkan lamunan pagi ku.
Seorang anak kecil yang membawa kotak bekal dengan senyumnya duduk di lobi
menunggu. “Apa yang mau dia tunggu?”, pikir ku. Beberapa saat kemudian muncul
seorang tua dengan jas lengkap dengan atributnya keluar dari lift dan
menghampiri anak itu. Secepat kilat anak tersebut menghampiri seorang tua tadi
dan memeluknya. Sembari menciumi pipi sang tua yang saat itu mengajak duduk si
kecil. Tampak sebuah pembicaraan hangat yang sempat kudengar sebentar sebelum
aku memasuki lift menuju tempat kerja ku.
“Ini
bekal dari mama pa. Katanya papa pasti suka”, ujar sang kecil kepada si tua.
“Terimakasih
nak. Papa kan sudah dewasa bisa nanti makan diluar. Oh ya, jangan lupa nanti
bilang ke mama mu papa pulang terlambat. Ada pertemuan dengan beberapa teman.
Kalau bisa nanti papa usahakan pulang ya”, ungkap si tua.
“Tapi
sekarang kan ada pementasaan aku disekolah pa. Nanti malam”, balas sang kecil
kepada si tua.
“Kamu
ini bagaimana sih. Papa kan begini juga buat kamu sama mama kamu. Kamu masih
kecil jadi tidak bisa mengerti orang-orang dewasa seperti papa. Kalau kamu
sudah besar dan dewasa seperti papa, pasti kamu mengerti”, tegas si tua kepada
sang kecil.
“Maaf
pa. Tidak apa-apa kalau papa tidak bisa datang nanti malam. Semester depan papa
bisa datang kan?”, tanya sang kecil kepada si tua.
“Sudahlah
kita lihat dulu semester depan. Sekarang kamu sekolah. Itu supir sudah menunggu
diluar”, perintah si tua kepada sang kecil. Dengan langkah gotai ia
meninggalkan lobi berjalan keluar dari gedung tua. Lantas menghilang bersamaan
dengan decitn ban mobil.
Sesaat
sebelum menaiki lift si tua tersebut mencegat ku. menyuruh untuk menahan pintu
lift agar tidak tertutup. Si tua masuk. Lantas spontan aku memberi salam.
“Selamat
pagi pak!”, ujar ku. Si tua hanya membalas dengan anggukan kecil lantas kembali
mengacuhkan ku dan menatap lurus kedepan. Disaat bersamaan si tua mendapati
telepon genggam miliknya berdering keras. Dengan senyuman ia menjawab telpon
tersebut.
“Ah, ini pasti istrinya. Mungkin menanyakan
apakah bekalnya sudah diantar atau belum”, pikir ku.
Si tua yang sumringah menerima telpon tersebut
menggangkatnya seraya berkata,”Halo sayaang. Sudah kangen ya sama aku?”.
“Ah, benar apa yang kuduga. Itu istrinya.
Siapa lagi kalau bukn istrinya yang pantas mendapatkan panggilan sayang
tersebut dan pembicaraan mesra demikian”, pikir ku lagi.
Lama
ku perhatikan sosok tua yang saat ini kegirangan menerima telpon istrinya.
“Mungkin hubungan mereka sangat harmonis. Bahkan sampai telponan pun masih
mesra seperti ini”, pikir ku. “Atau ini adalah hubungan dewasa yang
mengandalkan kemampuan pemikiran dewasa mereka sehingga mereka tetap mampu
harmonis sampai saat ini”, pikir ku lagi. Sembari tersenyum senyum si tua
melakukan percakapan dengan berbisik-bisik. “Mungkin dia malu ada orang lain
yang mendengar percakapan mereka yang cukup intim”, batin ku.
Ya.
Beginilah seorang dewasa harus bertindak. Seorang dewasa tua yang tetap mampu
berkeluarga secara harmonis bahkan masih sangat mesra kepada istrinya. Orang
yang tidak dewasa tidak akan bisa melakukan hal yang sama. Mungkin kedewasaan
seperti ini yang menjadikan hidup lebih berarti.
Namun
beberapa kali ku perhatikan gelagat si tua mulai telihat aneh. “Ah, aku tidak
boleh berprasangka buruk lagi. Mungkin cara menggungkapkan kasih sayang dengan
istrinya seperti ini. Dengan berbisik.
Mana mungkin seorang yang dewasa tua seperti si tua ini sekaligus pemimpin dari
perusahaan tempat ku bekerja ini bertindak aneh. Cuma orang yang berpikiran
dangkal yang curiga dengan perilaku si tua ini”, pikir ku lagi.
“Tapi
ini bukan terlihat seperti keromantisan dalam sebuah hubungan lagi. Ini
terkesan seperti hal besar yang harus ia sembunyikan. Ah, jangan berpikiran
yang tidak tidak lagi. Si tua ini sudah sangat berumur. Bagaimana mungkin dia
belum dewasa”, ujar ku membatin. Sebelum sempat di lantai delapan tempat ku
harus turun dan melakukan rutinitas, terdengar sebuah percakapan aneh yang
sangat memancing rasa ingin tahu yang amat besar. Sebuah percakapan yang
terkesan cabul dan vulgar. “Ini bukan romantisme suami istri lagi, mungkin
ini... “, pikiran ku mulai membuyar dan kembali terdengar percakapan singkat si
tua dengan orang diseberng telpon yang tidak mampu ku dengar lebih jauh.
“Iya
sayang. Nanti malam aku temui kamu. Kamu jangan lupa ya bikin aku enak lagi.
Aku udah membatalkan janji dengan anak ku untuk menonton pagelaran seninya”, ujar
si 'tua pelan.
“Hei!
Kalau dia istrinya bagaimana mungkin dia membatalkan untuk melihat acara anak
mereka hanya untuk kegiatan mereka? Bukankah itu anak mereka sendiri?”, pikir
ku.
Otak
ku mulai berpikiran aneh lagi. Mendapati gelagat aneh dari percakapan si tua,
aku yakin ini bukan istrinya yang di
seberang telepon. Pastinya seseorang yang bukan istrinya. Tapi dia sudah tua!
Mana mungkin orang yng tua seperti dia belum dewasa? Ah ini semakin sulit saja.
Si
tua kembali berbisik yang membuat ku lebih teliti lagi untuk mendengar
pembicaraan mereka.
“Tidak apa-apa sayang. Kalau kamu butuh
sesuatu jangat takut. Bilang saja apapun akan ku belikan. Sudahlah, jangan
takut. Istri ku tidak akan tahu. Apalagi anakku. Aku ini lelaki dewasa. Aku
bisa membohongi mereka dengan alasan-alasan logis yang akan membuat mereka
mengerti. Hahaha, ya kamu tahu kan. Aku ini lelaki dewasa yang bisa mengatakan
apa saja dan lantas istri ku akan percaya. Aku bilang lembur, ya dia anggap aku
lembur. Aku bilang kerja ya dia anggap aku kerja. Hahaha. Apalagi anak ku yang
kecil. Mana tahu dia pikiran dewasa seperti ku. yang penting aku harus tetap
menjadi seorang ayah yang bersikap dewasa seperti yang mereka inginkan.
Hahaha.”,ungkap si tua sembari tertawa kecil di ujung ganggang telepon
genggamnya.
Pintu
lift terbuka. Kembali ku berjalan pelan sembari berpikir dengan apa yang ku
dengar tadi. Bagaimana mungkin? Aku tidak bisa percaya apa yang ku lihat dan
kudengar lagi! Perlahan ku rebah kan badan ku ke kursi keras tempat duduk ku.
di meja kerja, ku kulihat koran baru dengan artikel berjudul ‘NEGARA BUTUH
PEMIMPIN YANG BERSIKAP DEWASA’. “Ah sial! Dewasa mereka bilang? Dewasa yang
bagaimana mereka inginkan?”, pikir ku lagi.
“Menjadi
dewasa seperti yang kulihat dari sosok si tua yang menjadi panutan anakknya?
Jijik sekali membayangkan si tua itu. Menjadi dewasa palsu yang penuh
kebohongan dan kelicikan. Menjadi dewasa palsu yang penuh dengan prasangka dan
kecurigaan”, pikir ku lagi.
Seketika
kembali aku teringat akan nasehat orangtua ku sebelum mereka melepasku untuk
hidup mandiri. Ya, orang tua ku benar. Seseorang yang telah mencapai umur tua
pun masih bisa belum dewasa seperti umurnya. Menjadi dewasa memang pilihan.
Lagi-lagi orangtua ku benar. Aku menemui segala sesuatu mengenai dewasa.
Dewasa yang diciptakan oleh lingkungan ku. Di tusuk doktrin-doktrin yang memaksa
ku untuk berpikir dewasa secara temporer.
Muak
dengan pikiran dewasa yang selalu menggangu perasaan ku. Ya, aku muak. Aku tak
akan mau lagi menjadi dewasa. Aku tidak akan menjadi dewasa seperti mereka!
Mereka palsu. Menjadi dewasa bukan lagi pilihan ku. Ku rasa aku tak akan
berubah. Aku akan kembali kemasa hati dan jiwa yang menuntun ku berjalan. Ini
pilihan ku dan aku yang mengatur jalan hidup ku! Persetan dengan mereka. Aku bukan
seorang patriot moral yang harus mencari definisi dewasa secara luas. Aku bukan
dewasa.
Komentar
Posting Komentar