DOGMATIKA NURANI HITAM



Oleh :Mhd Harry Sugama

Ini rasa dari kemunafikan! Ini bentuk penjarahan moderenisasi! Ini jiwa terbelakang! Ini raga konsep pembodohan! Ini bentuk persetubuhan nurani dan bisikan kesesatan!
Ini dogmatika nurani hitam!

Pukul 06.06 tanggal 6 bulan 6.
Kali itu langit merah mencekam bergelut dengan indahnya awan hitam yang kelabu. Sekelompok burung gagak berkerubutan berebut makanan dari bangkai binatang hina yang sudah 3 minggu membusuk di pelataran taman kota. Seorang pria tua berjalan menelusuri suasana kota yang hiruk pikuk dipenuhi oleh iklan produk-produk yang menjarahi tiap sudut kota. Gedung-gedung tinggi yang berpacu menjulang mewah dengan serakah menggusur tiap sudut lahan yang tidak mampu bertahan dari moderenisasi.
“Kali ini akan berakhir..”,ujar pria tua tersebut sambil menyalakan linting rokok yang dari tadi di bawanya berkeliling. “Arrgghhh! Setan! Ini sudah tidak enak lagi!”, ujar pria tua itu seraya membuang linting rokok yang tadi di bakar. Kali ini dahak yang kental dan berlendir keluar dari mulut pria tua itu sambil kembali menelusuri daerah antah berantah yang sebagian orang menyebut itu kota.


Baliho-baliho merek produk-produk ternama menghiasi tiap sudut jalan di kota besar ini. Hamparan gedung-gedung mewah membanjiri tiap jengkal lahan kota mati ini. Entah itu apartement, plaza,mol, atau hal semacamnya yang tidak pernah terfikir oleh pak tua tersebut untuk mencoba memasukinya. Kerumunan orang-orang berkeliaran disepanjang jalan tanpak seperti model iklan di balihi itu. Ya! Persis sama seperti kebanyakan majalah-majalah busana yang memaparkan tampilan modis dan stylish.
Tepat didepan tong sampah yang sangat besar dengan bau yang sangat menusuk hidung, langkah kaki pria tua itu terhenti. Di sana ia dapati seorang anak kecil dengan tubuh yang sangat kurus, tanpa penutup tubuh merangkak membongkar-bongkar isi tong sampah. Anak itu terus mencari sesuatu yang membuat pria tua tadi semakin penasaran.

“Hei! Anak kecil! Apa yang kau cari di dalam sana?”, ujar pria tua itu dengan rasa penasaran yang sangat menggebu.

Anak itu menoleh kepada pria tua itu dengan tatapan yang tajam seakan mengatakan bahwa ia terusik dengan kehadiran pria tua tersebut. Namun sekejap ia kembali membongkar-bongkar tong sampah dan kembali mencari sesuatu. Dia mencari sesuatu. Tapi itu bukan makanan bekas, atau hal-hal lain yang biasa dicari para pemulung. Merasa di acuhkan pria tua itu marah lantas menendang tong sampah itu dengan sangat keras.

“Kurang ajar! Apa kau tidak mendengar perkataan ku?”, pria tua itu berkata sambil membuang ludah.

“Saya mencari sesuatu! Anda tidak akan tahu!”, ujar anak kecil itu dengan lantang.

“Ya, aku tahu kau sedang mencari sesuatu, tapi apa itu? Makanan? Pakaian? Atau apa?”, ujar pria tua itu semakin penasaran.

“Saya mencari ibu”, ujar anak kecil itu dengan tenang dan kembali melakukan pencarian lagi.

“Mencari ibu? i.. ibu? Hahahaha… mencari ibu kau bilang? Bodoh! Lantas kenapa kau cari di tempat sampah? Apakah ibumu sampah? Hahahaha”, pria tua itu tertawa terbahak-bahak.

“Sampah? Saya tidak yakin pak tua, tapi saya di beritahu oleh bapak kalau ibu saya ada di sini”. kata anak kecil itu dengan polos.
“Hahaha… Kau bodoh sekali anak kecil! Mana ada ibu dari sampah! Ibu itu perempuan yang melahirkan kamu! Dia itu manusia bukan sampah! Bodoh kau”, kata pria tua itu sambil kembali membakar linting rokok yang di ambil dari saku bajunya.

“Tampaknya kau yang bodoh pak tua! Kasihan sekali kau!”, ujar anak kecil itu lalu ia berhenti mencari dan keluar dari tong sampah.

“A..a..apa kau bilang? Aku bodoh? Kurang ajar kau! Kau itu bodoh! Mau saja di akali bapak mu! Masa kau percaya ibumu itu ada di tempat sampah? Di bawah jembatan mungkin saja! Tapi ini didalam tumpukan sampah? Hahaha!”, ujar orang tua itu dengan bangga menggurui anak kecil yang menatapnya dengan tajam.

“Orang bilang aku ini anak dari peradaban, kemajuan dunia, dan perkembangan zaman”, kata anak kecil itu dengan tenang. Sejenak suasana yang kelabu seakan terhenti oleh perkataan anak kecil itu. Sepasang gagak terlihat melintas diantara mereka dan menyambar bangkai tikus didalam tong sampah yang diacak-acak anak kecil itu.

Pak tua itu menghentikan isapan rokoknya dengan kening berkerut memikirkan perkataan anak itu. “Anak peradaban? Kemajuan dunia? Perkembangan zaman? Apa maksudmu anak kecil?”, ujar pak tua itu dengan wajah suram penuh dengan seribu tanda tanya. Anak kecil itu keluar dari tong sampah. Lantas menghampiri pak tua itu dengan langkah gotai setengah pincang. “Bapak bilang ibu itu tas mahal bermerek, baju glaumor termahal, parfum mewah terkenal, mol-mol besar yang menjulang tinggi, dan produk impor kebanggaan manusia”, kata anak kecil itu sembari menyeka keringat di wajahnya.

Seribu tanda tanya menghampiri pak tua itu yang terdiam mendengar perkataan anak kecil kumuh dan kotor. Enam ekor gagak berterbangan di antara tumpukan sampah menghampiri tong sampah dan ikut meramaikan pesta makan bangkai gagak lainnya. “Jadi kau ini anak dari…”, belum selesai pak tua itu berbicara anak kecil itu berkata menyela perkataan pak tua itu. “Dari keprimitifan zaman modern”, ujarnya seraya merangkak menelusuri jalan kota karena kakinya yang pincang tak mampu beban tubuhnya.
“Lantas kenapa kau mencari ibu mu di tempat sampah anak kecil”,ujar pak tua itu setengah berteriak karena anak kecil itu perlahan semakin menjauh.
“Karena disanalah bentuk nyata dari ibu ku! “ , ujar anak kecil itu sambil berlalu.
Seribu tanya dan seribu pendapat bersatu dikepala pak tua itu. Persetubuhan pikiran yang terbendung keterbatasan akal membuat pak tua itu terdiam. Mengaga. Tanpa ia sadari langit semakin gelap menyapu wajahnya dengan warna merah api. Terbakar.


"Seketika aku berkaca pada gelapnya malam yang bisu. Hamparan doktrin hitam bersatu membunuh maya. Inikah bentuk pahala kebodohan itu? Jejak sang gagak beri petuah absurd. Gerilya benci bersatu menyetubuhi batin yang polos "


Jam 06.13, tanggal 13 bulan 6.
Tetesan hujan membasahi gubuk tua ditengah-tengah kehidupan kota yang hiruk pikuk diisi berbagai kemewahan dunia yang dimanjakan berbagai kemudahan. Pagi itu langit bersinar dengan mendungnya awan kelam diringi sambaran petir dan pekikan gagak seakan menyanyikan lagu kematian.

“Semakin suram”, ujar pria tua itu sambil bangun dari kursi lapuk yang menemani hari-harinya di gubuk reot miliknya. Secangkir kopi hitam ikut menghanyutkan pak tua dalam lamunan paginya. “Moderenisasi? Mmmm…”, perkataan itu dihentikan sembari mencicipi kopi hitam pahit paginya. “Apakah harus ada modernisasi yang seperti ini ya?”, pak tua itu berfikir sembari memasang alas kaki miliknya dan mengambil matel lusuh yang di gantung di balik pintu. Lantas keluar dari gubuk itu dan kembali menelusuri jalanan.

Pemandangan serupa dari hari kehari masih tetap sama. Jalanan besar yang di isi oleh mobil-mobil mewah serta kendaraan yang sangat di puja oleh manusia-manusia kota. Baliho dari produk-produk, entah itu produk kecantikan ataukah produk lainnya yang mampu menaikkan derajat manusia kota itu. Serta kerumunan orang yang persis seperti model-model majalah yang mereka sebut sangat modis dan stylish.
Sejenak pria tua itu berhenti melangkah sembari mengeluarkan rokok dari mantel lusuh yang dipakainya. “Mmm… Aahh… nikmatnya rokok ini “, ujar pak tua itu sambil kembali menghisap linting rokok yang tadi ia nyalakan. Pak tua itu kembali melangkah menelusuri jalanan kota yang pengap, kelam, dan berdebu. Namun matanya tertuju pada seorang anak kecil yang mengobrak abrik tempat sampah besar di seberang jalan. Seakan mengetahui sosok itu, pak tua itu berlari menyebrangi jalanan dan memperhatikan anak itu. “Ya! Dia anak kecil kemarin yang sudah membuat ku bingung dan pusing! Pasti itu dia! Tidak salah lagi “, pak tua itu membatin.

Tanpa pikir panjang, pak tua itu menghampiri anak kecil itu dan menyapanya dengan keras. Terkesan seperti sebuah hardikan.

“Hei! Anak kecil! Kenapa kau masih mengobrak-abrik sampak di sini? Apa kau belum menemukan ibu mu itu? “, ujar pak tua itu sambil menghisap linting rokonya dengan dalam dan terlihat sangat nikmat.
Anak itu menoleh kepada pak tua, namun tidak menjawab pertanyaan dari pak tua. Malah menatap tajam tanpa kedipan kea rah pak tua itu. Merasa ada yang aneh dengantatapan anak kecil itu pak tua menjadi salah tingkah dan menendang tong sampah itu sembari memaki anak kecil itu. “Hei! Apa yang kau tatap? Apak kau tidak suka aku bertanya demikian kepada mu?”, ujar pak tua itu dengan nada setengah tinggi. Anak itu tersenyum kepada pak tua. Merasa di remehkan pak itu itu meludahi tong sampah itu dengan dahaknya yang kental dan busuk. “Huuaakkk!!! Apa maksudmu tersenyum kepadaku? Kau menganggap aku bodoh ya?!!”, kata pak tua itu sambil kembali menyalakan linting rokok baru yang ia ambil dari matel lusuhnya.

“Anda merokok ya pak tua?”, tanya anak kecil itu sambil tersenyum kepada pak tua.

“Kau buta? Iya! Lihat aku ini merokok! Lantas apa yang salah?”, ujar pak tua itu sambil marah namun kelihatan bingung dengan pertanyaan anak itu.

“Kenapa kau merokok pak tua?’, tanya anak kecil kepada pak tua yang semakin bingung dengan tingkah anak ini.

“Aku ini merokok karena… ka..kare…karena aku ini manusia dewasa! Goblok”, ujar pak tua itu seakaan bangga dengan argumennya.

“Jadi manusia dewasa itu harus merokok pak tua?”, tanya anak kecil itu dengan polos kepada pak tua itu.

“Mmm.. aku ini manusia modern seperti kebanyakan orang! Bodoh”, ujar pak tua itu dengan makian yang lebih keras lagi. “Harusnya kau jawab pertanyaan ku apa yang kau lakukan disini? Mencari apa lagi kali ini?’, ujar pak tua itu dengan sangat penasaran kepada anak kecil itu.

“Kau tidak akan tahu pak tua..”, kata anak kecil itu sambil keluar dari tong sampah dengan tubuh tanpa pembalut. Bau dan sangat kumuh. Namun tatapan matanya yang sangat tajam terlihat berbeda ketika menatap sebuah gedung pusat perbelanjaan yang menjulang tinggi.

“Cepat! Katakan saja! Mungkin kali ini aku bisa membantu mu”, kata pak tua itu sembari menghampri anak kecil dari tadi menatap gedung pusat perbelanjaan yang menjulang tinggi.

“Aku mencari keyakinan pak tua”, ujar anak kecil itu

“Keyakinan? Apa maksudmu?”, pak tua itu semakin bingung dengan ucapan anak kecil denga tubuh kurus dekil dan sangat bau.

“Aku mencari Tuhan pak tua”, jawabnya ringkas.

“Tu..tt..tuhan? Kau ini gila!! Kasihan sekali aku dengan mu! Kemaren ibu yang kau cari disini. Sekarang tuhan yang kau cari di tempat sampah ini! “, pak tua itu semakin bingung dengan ucapan anak kecil yang terlihat biasa namun benar-benar berbeda dengan anak kecil lainnya.

“Aku tidak gila pak tua. Justru karena aku ini waras aku ingin menyelamat kan Tuhan yang telah di buang oleh manusia-manusia kota modern ini”, Kata anak kecil itu sambil mulai merangkak meninggalkan pak tua.

“Me..me..menyelamatkan Tuhan? Hahahaha! Kau ini benar benar gila nak! Sudahlah! Pergi bermain dengan anak-anak lainnya yang berfikiran wajar! Jangan berimajinasi teralu tinggi nak! “, ujar pak tua itu sembari menyalakan kembali linting rokok yang sudah habis dimakan waktu yang singkat tadi.

Ucapan pak tua itu menghentikan rangkakan anak kecil itu. “Aku tidak gila pak tua! Aku hanya mencoba menyelamatkan Tuhan yang sudah dibuang dan di lupakan manusia modern!”, ujar anak itu dengan tatapan tajam kepada pak tua.

Mendengar ucapan anak itu pak tua sedikit takut dan gemetar. Namun rasa penasarannya yang lebih dalam membuatnya kembali bertanya kepada anak kecil itu. “Anak kecil! Apa maksud perkataan mu nak? Hati-hati dengan perkataan mu. Bisa- bisa kau di kutuk Tuhan!”, ujar pria tua itu sambil mematikan linting rokok yang baru dinyalakannya.

“Karena aku takut dikutuk Tuhan, makanya aku ingin menyelamatkannya! Tuhan itu telah dibuang manusia modern pak tua. Mereka menggatikan kedudukan tuhan dengan barang mewah, title, dan hal-hal mewah yang bermerek lainnya. Tuhan mereka ada di majalah-majalah fashion. Tuhan mereka ada di dalam pusat perbelanjaan mewah. Tuhan mereka ada didalam gaya hidup modern yang saat ini mereka puja dan mereka sembah pak tua!”, ujar anak kecil itu panjang lebar sambil kembali merangkak. Entah menuju arah mana.

Langit kelam yang indah kembali menyapa pak tua itu di tengah kebingungannya akan perkataan anak kecil itu. Seribu tanda tanya menambah rasa penasaran pak tua itu dan berhasil merampas akal pikirannya. Seekor burung gagak hinggap diantara kerumunan sampah yang berserakan dan menemani langit tua yang terbakar merah menyala dalam kelabunya.
                                                           
                                                      2012, Sebuah apresiasi dari Tiga Angka Enam dan Death metal



Komentar

Postingan Populer