20 APRIL 2016

Bertanya: " Bukankah hujan selalu menyedihkan? Masih saja terlarut aku dalam duka ku. Sedangkan  terjaga menunggu ikhlas yang ku nantikan tak ayal datang. Layaknya hujan, kucoba lepaskan dan biarkan kesah ku ditelan waktu. Sayangnya tak sedikitpun ikhlas itu membias. Hanya berbentuk gumpalan air keruh kecoklatan yang menanti matahari terik agar hilang tanpa sisa".

Menjawab:  "Hujan untuk ku berbeda. Tak sedikitpun luka dalam hujan ku. Hanya tentang secuil cerita tentang teduh bersama disatu payung. Tentang sapaan yang hangat dan keterbukaan hati untuk menerima gairah. Semakin hujan deras, semakin ku terlarut dalam lindungan payung. Menuntun ku melangkah menyeberangi jalanan basah. Sampai pada akhirnya mengantarkan pada jalanku".

Bertanya: "Lantas payung tedung yang kau tumpangi? "

Menjawab:  "Payung itu harus ku lipat dan kutinggal. Hujan membawaku pada cerita payung. Awalnya aku berpikir ini adalah perjalanan tersejuk melewati guyuran air langit bersama. Berlindung dalam keterbatasan dan saling memberi tempat agar tetap terjaga kering. Tapi kau tahu? Payung itu harus kulipat dan kutinggal. Dia mengantarkan ku kepada kehangatan. Payung mengantarkan ku kepada matahari dan berbisik, saatnya mengeringkan hati".

Bertanya:  "Bukankah itu menyakitkan?"

Menjawab:  "Kau pun tahu itu. Tapi tak selamanya pun hujan. Ini hanya masalah waktu. Menunggu terik untuk mengeringkan hati. Kau harus percaya itu".

Bertanya:  "Bukankah menunggu itu juga menyedihkan?"


Samarinda, 03.45 WITA
 



Komentar

Postingan Populer